contoh komunikasi Metode Kualitatif

METODE PENELITIAN KUALITATIF








KESENIAN JENTRENG SEBAGAI
KEARIFAN BUDAYA LOKAL DI RANCAKALONG


Oleh :

Gendra Fahrurozi 11080007321



FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia memang berada di wilayah rumpun melayu. Akan tetapi bukan berarti Negara ini hanya memiliki budaya homogen melayu saja. Dari ujung Sabang hingga Merauke bisa ditemukan banyak sekali keragaman tradisi yang telah ada sejak lama. Keunikan ini memang menjadi komoditas yang luar biasa tinggi untuk menunjang pengembangan pariwisata. Sayang, tidak banyak masyarakat yang mengetahui beberapa kearifan lokal.

Jentreng adalah sebuah tradisi yang berasal dari kecamatan Rancakalong, kabupaten Sumedang- Jawa Barat. Hanya di kecamatan inilah kesenian Jentreng ditemui. Banyak pengakuan bahwa tidak ada daerah lain selain Rancakalong yang mengenal kesenian Jentreng.
Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain (dawai yang dipasang di tengah tiang tarawangsa); sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut kacapi.
Tradisi Jentreng ini adalah sebuah kesenian dengan terdiri dari dua alat musik. Selain itu ada beberapa sesaji yang disediakan untuk para leluhur. Lalu, beberapa penari baik pria maupun wanita menari mengikuti musik yang melantun. Yang menarik ialah, mereka menari dalam rangka berkomunikasi dengan para leluhur mereka sehingga saat menari mereka sampai tidak sadarkan diri.
Kesenian Tarawangsa ini digunakan untuk prosesi ritual yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pendukungnya. Kesenian Tarawangsa dapat dikategorikan sebagai musik ritual, karena adanya ruang sakral yang dibentuk oleh keyakinan yang dianut masyarakat. Yang menarik adalah ketika musik ini digunakan untuk iringan tari. Mereka mengalami trance (tak sadarkan diri). Sebetulnya secara tidak sadar mereka dipengaruhi oleh musik tarawangsa hingga menuju pada tingkat konsentrasi (pengosongan pikiran).
Tarawangsa identik dengan tanaman padi. Tarawangsa dan padi, keduanya mewujud sakral, menjalin harmoni menciptakan kekuatan transenden. Hal ini berhubungan dengan mitos kesuburan: benih padi dari Mataram tumbuh subur lantaran nada khas Tarawangsa. Karena itu, Tarawangsa akan selalu disandingkan dalam setiap ritus padi . Dalam hal ini, seni Tarawangsa merupakan sebuah bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang telah mereka dapatkan, juga sebagai media penghormatan terhadap Dewi Sri yang bertujuan untuk menyampaikan rasa terima kasih atas pertolongannya yang telah bersedia menghidupkan dan menyuburkan tanaman padi.
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan Jentreng sebagai kearifan lokal di Rancakalong. 2. Untuk mengetahui alasan mendeskripsikan Kesenian Jentreng sebagai kearifan budaya lokal di Rancakalong.
4. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan analisis tentang studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi tentang Kesenian Jentreng Sebagai Kearifan Budaya Lokal di Rancakalong?
5. Kegunaan Penelitian
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini berguna untuk memperkaya penelitian dalam ilmu komunikasi dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang baik mengenai metodologi penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Hasilnya diharapkan dapat menjadi rujukan bagi siapa saja yang ingin mengetahui seluk beluk mengenai hal-hal apa saja yang berhubungan dengan metodologi penelitian kualitatif dan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan fenomenologi.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi masukan referensi untuk khalayak. Mengenai kesenian sebagai komunikasi nonverbal yang bisa memperlihatkan sebagai kearifan Budaya lokal.
6. Metode Penelitian dan Teknik Penelitian
5.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.

5.1.1 Metodologi Kualitatif
Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang digunakan untuk mendekati problem dalam mencari jawaban (Mulyana, 2001:145) dengan kata lain, ini merupakan sebuah pendekatan umum atau cara untuk mendapatkan sebuah hasil penelitian dari topik yang kita angkat, sementara itu perspektif teoritis itu sendiri digunakan dalam suatu kerangka penjelasan untuk menghubungkan sebuah data dengan peristiwa hingga akhirnya terbangun sebuah interpretasi seorang peneliti.

Butuh sebuah pendalaman mengenai fenomena yang terjadi dengan objek-objek pada fenomena itu. Hal ini pula yang menjadikan alasan mengapa metode kualitatif dipilih untuk meneliti fenomena yang terjadi. Karena untuk meneliti latar belakang sebuah fenomena kita perlu memahami objek dengan berbagai aspek-aspek pribadinya.

Metode penelitian kualitatif merupakan peneltian yang bertujuan untuk menganalisis sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat, penelitian ini tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistik (Mulyana, 2001:150), karena metode ini meyakini bahwa fenomena yang terjadi di masyarakat tidak bisa dilihat dan ditentukan dengan angka-angka, fenomena yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah akibat dari faktor-faktor yang memengaruhinya. Karena di dalam sebuah fenomena terdapat tentang apa yang dialami oleh subjek seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain.

Sementara itu, definisi menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (dalam Moleong, 2000:3).
5.1.2 Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Perspektif ini sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yaitu perspektif interpretitif, sehingga penulis akan dihadapkan pada pemaknaan yang mungkin tidak akan sesuai dengan makna yang ingin dicapai oleh orang atau pihak yang menyampaikan tersebut.

Pada awalnya, istilah fenomenologi diperkenalkan oleh J.H Lambert , tahun 1764, untuk menunjuk pada Teori Kebenaran (Bagus, 2002:234). Setelah itu, istilah ini diperluas pengertiannya. Sedangkan menurut Kockelmans (1967, dalam Moustakas 1994:26), fenomenologi digunakan dalam filsafat pada tahun 1765, yang kadang-kadang ditemukan dalam karya-karya Immanuel Kant, yang kemudian didefinisikan secara baik dan dikonstruksikan sebagai makna secara teknis oleh Hegel. Menurut Hegel, fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan yang muncul dalam kesadaran, sains yang mendeskripsikan apa yang dipahami seseorang dalam kesadarannya (dalam Mediator Volume 9, 2008:164).

Fenomenologi dicetuskan secara intens sebagai kajian filsafat pertama kali oleh Edmund Husserl (1859-1938), sehingga Husserl sering dipandang sebagai Bapak Fenomenologi. Filsafatnya sangat populer sekitar tahun 1950-an. Tujuan utama filsafat ini adalah memberi landasan bagi filsafat agar dapat berfungsi sebagai ilmu yang murni dan otonom (Kuper dan Kuper, ed.,1996:7490). Pada awal perkembangannya, fenomenologi merupakan seperangkat pendekatan dalam studi filosofis dan sosiologis, serta studi tentang seni (Edgar dan Sedgwick, 1999: 271).

Dengan metode dan pendekatan tersebut penelitian ini diarahkan pula pada latar belakang dan individu secara holistik (utuh). ”Maksudnya tidak mengisolasi individu dan organisasi ke dalam variabel-variabel atau hipotesis, melainkan sebagai suatu keutuhan” (Moleong, 1994:3).

Kata What dan Berg (1995:417), Phenomenologist,..., are not at all in the bussines of trying to explain why people do what they do. Rather the interested in explainong how people do what they do; according to construct they manage to organize their daily lives, especially their communications beetween each other.
Jadi peneliti dalam studi fenomenologi tidak tertarik mengkaji aspek-aspek kausalitas dalam peristiwa, tetapi berupaya menggeledah tentang bagaimana orang melakukan sesuatu pengalaman beserta makna pengalaman itu bagi dirinya (Mediator Volume 9, 2008:170).

Terdapat prosedur penting dalam melakukan studi fenomenologis – sebagai hasil adaptasi pemikiran Stevick, Colaizzi, dan Keen sebagai berikut:
1. Menetapkan lingkup fenomena yang akan diteliti: Peneliti berusaha memahami perspektif filosofis di balik pendekatan yang digunakan, terutama konsep mengenai kajian bagaimana orang mengalami sebuah fenomena. Peneliti menetapkan fenomena yang hendak dikaji melalui para informan.
2. Menyusun daftar pertanyaan: Peneliti menuliskan pertanyaan penelitian yang mengungkap makna pengalaman bagi para individu, serta menanyakan kepada mereka untuk menguraikan pengalaman penting setiap harinya.
3. Pengumpulan data: Peneliti mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang diteliti. Data diperoleh dari wawancara yang cukup lama dan mendalam dengan sekitar 5-25 orang. Jumlah ini bukan ukuran baku. Bisa saja subjek penelitiannya hanya 1 orang. Teknik pengumpulan data lain yang dapat digunakan: observasi (langsung dan partisipan), penulusuran dokumen.
4. Analisis data: peneliti melakukan analisis fenomenologis.
a. Tahap awal: peneliti mendeskripsikan sepenuhnya fenomena yang dialami subjek penelitian, seluruh rekaman hasil wawancara mendalam dengan subjek penelitian ditranskripkan ke dalam bahasa tulisan..
b. Tahap Horizonalization: dari hasil transkripsi, peneliti menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan topik. Pada tahap ini, peneliti harus bersabar untuk menunda penilaian (bracketing/epoche); artinya, unsur subjektivitasnya jangan mencampuri point-point penting, sebagai data penelitian, yang diperoleh hasil wawancara tadi.
c. Tahap Cluster of Meaning: Selanjutnya peneliti menglakisifikasikan pernyataan-pernyataan tadi ke dalam tema-tema atau unit-unit makna, serta menyisihkan pernyataan yang tumpang tindih atau berulang-ulang. Pada tahap ini dilakukan: (a) Textural description (deskripsi tekstural): peneliti menuliskan apa yang dialami, yakni deskripsi tentang apa yang dialami individu; (b) Structural description (deskripsi struktural). Penulis menuliskan bagaimana fenomena itu dialami oleh para individu. Peneliti juga mencari segala makna yang mungkin berdasarkan refleksi si peneliti sendiri, berupa opini, penilaian, perasaan, harapan subjek penelitian tentang fenomena yang dialaminya
d. Tahap deskripsi esensi: peneliti mengonstruksi (membangun) deskrispsi menyeluruh mengenai makna dan esensi pengalaman para subjek.
5. Peneliti melaporkan hasil penelitiannya. Laporan ini memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pembaca tentang bagaimana seseorang mengalami struktur fenomena. Laporan penelitian menunjukkan adanya kesatuan makna tunggal dari pengalaman, di mana seluruh pengalaman itu memiliki ”struktur penting” ( dalam Mediator Volume 9, 2008:171-172).

7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang dikumpulkan penulis dalam penelitian didapat dengan menggunakan teknik-teknik :

1. Teknik obsevasi berpartisipasi
Teknik observasi berpartisipasi digunakan untuk memperoleh fenomena fashion emo belakangan ini. Pengamatan yang dilakukan peneliti adalah pengamatan biasa dan pengamatan terlibat. Perbedaannya terletak pada ada atau tidak adanya interaksi peneliti dengan informan. Pengamatan terlibat ada interaksi antara peneliti dengan informan, Artinya peneliti langsung ke lapangan untuk melakukan pengamatan.

2. Teknik Wawancara Terbuka dan Mendalam
Untuk melengkapi data dalam upaya memperoleh data yang akurat tentang penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan informan. Menurut Guba wawancara dilakukan untuk mengonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain. (Moleong, 2000:135). Cara melakukan wawancara adalah mengikuti saran Moustakas bahwa “The phenomenological interview involves an informal, interactive process and utilizies open-ended comment and questions” (Moustakas, 1994:114).

3. Penelusuran dokumen
Yaitu mencari informasi serta data-data yang dibutuhkan melalui berbagai rujukan buku, koran, tabloid, majalah, serta internet. Termasuk berbagai referensi dari penelitian sebelumnya berkenaan dengan fenomenologi.

4. Observasi
Yaitu teknik dimana orang melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki.














BAB II
PEMBAHASAN

Temuan Peneliti
Tarawangsa sebaga seni tradisi masyarakat adat Kecamatan Rancakalong walaupun sampai saat ini masih utuh dan lestari, tetapi penikmat tradisi musik kesenian ini hanya dinikmati oleh kaum tua saja, sementara kaum muda kurang tertarik, padahal musik Tarawangsa ini merupakan musik tradisi unggulan dari masyarakat Kecamatan Rancakalong, Sumedang.
Adapun tujuan dari makalah ini adalah mencoba memaparkan fungsi-fungsi dari Kesenian Tarawangsa dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, sehingga warisan leluhur ini masih bisa tetap eksis atau dapat dipertahankan oleh generasi penerusnya.
Fungsi Musik
Musik adalah tingkah laku universal manusia. Musik mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Menurut A.P. Merriam, ada sepuluh fungsi musik, yaitu : (1) Estetika, (2) Hiburan /Entertainment, (3) Reaksi Jasmani, (4) Norma Sosial, (5) Pengesahan Institusi Sosial dan Religi, (6) Pengintegrasian Masyarakat, (7) Komunikasi, (8) Ekspresi Emosional, (9) Sebagai Simbolis, (10) Kontribusi untuk kelangsungan dan stabilitas budaya
Kesepuluh fungsi tersebut juga merupakan sebagian alasan mengapa musik eksis di dalam kehidupan manusia. Selanjutnya akan coba dilihat, apakah musik Tarawangsa itu memiliki kesepuluh fungsi musik tersebut.
Estetika
Keindahan Tarawangsa terlihat dalam petikan-petikan dalam tempo sedang yang seakan mengajak para pendengar untuk menari .Bunyi Tarawangsa sangat khas, terdengar menyayat dan melengking, masuk ke dalam rasa pendengarnya, menembus kesadaran imaji . Musik Tarawangsa memberikan kekuatan terapi yang membangkitkan kesadaran. Auranya luar biasa. Menghenyak jiwa, menuju pada kejujuran dan kepasrahan yang terungkap dalam gerakan ngibing (tari) sampai pada kondisi trance (kesurupan) .
Hiburan/Entertainment
Hiburan (entertainment) adalah suatu kegiatan yang menyenangkan hati bagi seseorang atau publik. Masyarakat pedesaan cenderung masih menyukai Tarawangsa sebagai hiburan di hajatan pernikahan, syukuran rumah baru, dan khitanan. Pada bulan-bulan tertentu seperti bulan ruwah, bulan maulid, dan bulan haji tarawangsa sering disajikan sebagai hiburan .
Dalam hal ini, musik tarawangsa juga merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana rekreasi dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Umumnya masyarakat Indonesia sangat antusias dalam menonton pagelaran musik. Jika ada pertunjukan musik di daerah mereka, mereka akan berbondong- bondong mendatangi tempat pertunjukan untuk menonton bahkan ikut serta dalam upacara tersebut.
Reaksi Jasmani
Dalam hal ini reaksi jasmani disebut sebagai tarian . Jika mendengar musik dengan refleks pendengar musik tersebut akan terhentak dan ingin menari . Dalam tarawangsa, para peserta dipersilakan untuk menari . Yang menarik, penari tersebut mengalami trance (kehilangan kesadaran) . Secara psikologi, musik Tarawangsa mempengaruhi alam pikiran mereka – secara tidak sadar musik Tarawangsa membawa pada alam bawah sadar masyarakat yang meyakininya .
Tarian pada seni tarawangsa bersifat ritual yang lebih mementingkan tujuan daripada bentuk penyajiannya. Kegunaan praktis dalam tari yang dipercaya oleh masyarakat yang hidupnya masih dipengaruhi tatanan agraris. Tarian pada seni ritual termasuk pada seni tarawangsa dipercaya dapat menghasilkan kekuatan magis yang diharapkan mampu mempengaruhi serta menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Oleh karena itu tarian pada seni tarawangsa dapat dianalogikan sebagai berikut :
a. Tari-tari ritual diciptakan bukan untuk dinikmati keindahannya oleh manusia, akan tetapi memiliki tujuan yang lebih dalam. Tari-tari ritual lebih mementingkan tujuan daripada bentuk estetis. Bahkan kadang-kadang bentuk yang sederhana justru memiliki tujuan yang lebih dalam yang bersifat mistis.
b. Mereka masih percaya adanya roh-roh, baik yang jahat maupun yang baik yang berada di sekeliling mereka. Roh yang baik bisa dimintai pertolongan, sedangkan roh yang jahat dijaga jangan sampai mengganggu manusia.
c. Oleh karena itu untuk membedakan tari yang berfungsi ritual dengan fungsi tari lainnya bisa dicermati dengan memperhatikan ciri-cirinya yaitu:
1. Diselenggarakan pada tempat yang terpilih biasanya tempat yang dianggap sakral, seni tarawangsa pada upacara-upacara dalam ruang lingkup yang besar seperti ngalaksa atau rayagungan biasanya disajikan di sebuah balai di Desa Wisata yaitu di Desa Rancakalong Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang. Namun, untuk upacara-upacara yang erat hubungannya dengan acara selamatan atau syukuran, pemilihan tempat yang digunakan untuk penyajian seni tarawangsa tidak begitu rumit, asalkan bersih, luas, dan berada dalam sebuah ruangan (tidak di ruangan terbuka).
2. Diselenggarakan pada saat yang terpilih, sesuai dengan maksud dan tujuan ritual. Penyajian seni tarawangsa merupakan sebuah ritus yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia atas. Aktivitas ritual yang sakral tersebut memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat. Seni tarawangsa dalam masyarakat memiliki fungsi sosial, yaitu untuk upacara sakral dan profan. Dalam upacara sakral, kesenian ini digunakan dalam upacara setelah panen padi (netepkeun ibu pare), ruatan, dan sebagainya. Sebagai sarana hiburan seni tarawangsa di gunakan dalam acara selamatan kelahiran bayi, khitanan, penyambutan tamu kehormatan, dan sebagainya.
3. Ditarikan oleh penari terpilih yang umumnya dianggap suci atau yang dalam keadaan ‘ tidak kotor’. Penari boleh siapa saja, akan tetapi para penari haruslah sudah dewasa dan untuk perempuan haruslah sedang tidak dalam keadaan haid.
4. Biasanya memerlukan seperangkat sesajen, yaitu;
a) parupuyan, yakni perapian sebagai wadah pembakaran kemenyan.
b) pangradinan, atau alat-alat kecantikan, berupa minyak kelapa, minyak wangi, sirih, pinang, bunga-bunga, sisir, cermin, dan sebagainya.
c) parawanten atau sesajian makanan diantaranya bakakak ayam, rujak buah, ubi-ubian, telur, beras, dan sebagainya. d) panyinglar berupa daun hanjuang, anak batang, pisang, batang tebu, dan sebagainya.
5. Tidak adanya penonton, sebab penonton dan semua yang hadir dalam upacara itu dianggap sebagai bagian dari kelengkapan upacara.
Dalam pertunjukannya, seni tarawangsa biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tarian tersebut dilakukan secara teratur, dimulai dari tarian yang dilakukan oleh saehu yang menarikan tari bedaya, lalu disusul oleh para penari perempuan. Tarian mereka berfungsi untuk ngalungsurkeun Dewi Sri dan roh para leluhur.
Pola tarian yang dilakukan oleh para penari perempuan dominan melingkar, hal tersebut sebagai gambaran axismundi atau poros bumi sebagai pusat kekuatan (power sentral) untuk menghubungkan diri dengan dunia atas .
Formasi melingkar dari tarian tarawangsa ini mengingatkan kita akan bumi yang mengelilingi matahari menuruti rute berbentuk lingkaran. Semua roda kendaraan berbentuk lingkaran. Siklus kehidupan pun dapat digambarkan sebagai lingkaran, karena setelah titik akhir akan kembali ke titik awal. Untuk gambaran axismundi atau poros bumi yang menghubungkan diri dengan dunia atas sebenarnya terletak pada posisi saehu perempuan yang menari di tengah lingkaran para penari perempuan lainnya. Karena poros atau pusat kekuatan dari sebuah lingkaran berada tepat di tengah lingkaran tersebut.
Norma Sosial
Musik banyak pula digunakan sebagai media untuk mengajarkan norma-norma, aturan-aturan yang sekalipun tidak tertulis namun berlaku di tengah masyarakat . Musik dapat berkembang menjadi suatu aliran ideologi yang mengakar dalam diri seseorang atau bahkan komunitas, maka ia akan mempunyai konsekuensi dalam nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam lingkungan sosialnya, baik lingkungan sosial yang terkecil atau bahkan sampai meluas menembus batas-batas wilayah tertentu. Musik Tarawangsa dapat memberikan nilai-nilai yang baik dalam menjaga keharmonisan hubungannya dengan sesuatu yang di anggap mulia tersebut.
Seni Tarawangsa merupakan aturan dalam masyarakat Jawa Barat dimana mereka mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa akan hasil panen yang mereka dapatkan ,jika upacara tersebut tidak dilakukan maka akan terjadi bencana pada daerah mereka yang dapat berupa kegagalan dalam panen, kesusahan, padi akan cepat habis, wabah penyakit, kekurangmanfaatan hasil panen, hingga berujung pada kematian.
Pengesahan Institusi Sosial dan Religi
Tarawangsa biasa disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Tarawangsa adalah prosesi yang lebih bersifat batiniah. Tarawangsa mengandung arti menerawang pada yang Esa. Melalui tarawangsa, para penari diajak menyatukan diri hingga dalam kondisi hening dan terbawa alam transedental–roh-roh gaib datang untuk menyatu dalam kekhidmatan mistis suara rebab dan jentreng atau kecapi. Konon itulah yang dalam konsep religi kuno Sumedang disebut proses penyatuan antara dunia gaib dengan jagat batin manusia. Penyatuan tersebut mengundang ruh atau makhluk halus datang pada saat prosesi, tak heran apabila orang yang menari mengalami trance (tak sadarkan diri). Pada saat itu terjadi mediumisasi, artinya ruh atau makhluk halus tersebut berinterferensi dengan ruh manusia, atau barangkali yang gaib itu menguasai alam bawah sadar penari. Keadaan itu merupakan manifestasi yang gaib dalam mengikuti prosesi ritual, artinya ia (makhluk halus) turut serta dalam penghormatan itu dengan cara merasuki penari, hingga penari kerasukan mahkluk gaib.
Pengintegrasian Masyarakat
Tarawangsa menjadi salah satu alat pengintegrasian masyarakat Rancakalong. Tarawangsa sering disajikan pula pada acara-acara atau hal lain yang erat hubungannya dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat setempat, terutama yang berkaitan dengan acara selamatan atau syukuran, bahkan ada yang menggunakannya sebagai media untuk menyembuhkan orang sakit.
Komunikasi
Musik dalam konteks religi merupakan salah satu sarana komunikasi dengan para leluhur. Demikian juga dalam seni tarawangsa, dapat dikatakan sebagai sarana komunikasi antara leluhur mereka dengan generasi penerusnya. Masyarakat Jawa Barat dapat berkomunikasi pada leluhur memgucap rasa syukur atas panen padi yang telah mereka terima .
Ekspresi Emosional
Musik bersifat afektif (emosional), artinya terjadi komunikasi perasaan antara penghayat dan pelaku. Dalam konteks ini, musik ritual sangat mempengaruhi tingkat emosi seseorang .
Tarawangsa memiliki suatu keunikan , bahwa peserta yang ikut dan menari mengalami trance ( kesurupan ). Dapat dikatakan bahwa Tarawangsa memiki alunan nada luar biasa sehingga para peserta ikut larut dalam musik tersebut .
Sebagai Simbolis
Musik digunakan sebagai sarana mewujudkan simbol-simbol dari nilai-nilai tradisi dan budaya setempat. Kesenangan, kesedihan, kesetiaan, kepatuhan, penghormatan, rasa bangga, dan rasa memiliki, atau perasaan-perasaan khas mereka disimbolkan melalui musik baik secara sendiri maupun menjadi bagian dari tarian, syair-syair, dan upacaraupacara .
Musik Tarawangsa mereka anggap sebagai simbol rasa syukur masyarakat desa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang berlimpah serta sebagai simbol untuk mengingat atau mengenang jasa-jasa para leluhur yang telah berhasil membawa benih padi dari kerajaan Mataram ke Rancakalong.
Kontribusi Untuk Kelangsungan dan Stabilitas Budaya
Musik Sunda dan sekitarnya di Propinsi Jawa Barat memiliki rasa yang sangat khas adalah bagian dari upacara-upacara sosial dan keagamaan masyarakatnya.
Lagu-lagu daerah banyak sekali berfungsi sebagai pelestari budayanya, karena tema-tema dan cerita di dalam syair menggambarkan budaya secara jelas. Syair-syair lagu sering juga berasal dari pantunpantun yang biasa dilantunkan oleh masyarakat adat dan daerah-daerah di Indonesia. Tarawangsa adalah kesenian yang harus dipertahankan dan dilestarikan .
Analisis
Norma-norma dan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari dan berguna untuk mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan yang kemudian salah satunya diwujudkan dalam bentuk upacara tradisional. Secara khusus upacara tradisional mengandung kegiatan sosialisasi dimana rasa keterlibatan bersama dari masyarakat pendukungnya mendorong mereka untuk berperan serta hingga mempertebal rasa solidaritas kelompok.
Dalam upacara tradisional akan terungkap berbagai nilai sosial yang secara simbolis dapat dihayati oleh anggota masyarakatnya. Pada kesenian tarawangsa yang berfungsi sebagai upacara hormatan terhadap Dewi Sri dan roh para leluhur (karuhun), didalamnya banyak sekali nilai sosial yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat pendukung kesenian tersebut.
Benda-benda yang berupa sesajen dalam pergelaran tarawangsa semuanya merupakan simbol-simbol yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Akan tetapi, walaupun isi dari upacara hormatan masih bersifat mistik, masyarakat Rancakalong sebagai pemiliknya merasa harus tetap mempertahankan keberadaan kesenian tersebut karena mereka memiliki keyakinan, bahwa dampak sosial yang ditimbulkan dari kesenian tersebut dapat dirasakan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu dampak sosial dari kesenian Tarawangsa yakni sampai sekarang kesenian Tarawangsa pada upacara hormatan masih tetap dilaksanakan walaupun para leluhur (nenek moyang) mereka sebagai pelopor kesenian tersebut sudah tidak ada.
Upacara tradisional berfungsi pula sebagai sarana Upacara Ritual, hal ini disebabkan karena masyarakat pendukungnya masih mengacu pada kehidupan tradisional yang masih menganut kepercayaan akan kekuatan-kekuatan gaib yang bisa memberikan kebaikan dan keburukan atau disebut Animisme dan Dinamisme. Kepercayaan manusia akan adanya dewa-dewa, roh-roh, dan mahluk-mahluk halus diyakini ada yang menguntungkan dan ada pula yang merugikan mereka. Seperti diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1990:229) sebagai berikut.
Kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia adanya banyak gejala yang tak dapat diterangkan dengan akal dan kelakuan manusia yang besifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
Berdasarkan pendapat di atas, sistem religi yang dilakukan merupakan sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa, roh-roh halus, neraka, surga dan yang lainnya. Kepercayaan Animisme adalah kepercayaan yang menyandarkan kepada adanya roh-roh yang hidup berdampingan dengan manusia di dunia. Kepercayaan Animisme yaitu kepercayaan serba sukma. Kepercayaan ini pada dasarnya berpandangan sebagai berikut :
1. Segala yang ada dalam dunia ini, baik manusia biarpun hewan, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda mempunyai dan terjadi dari jenis daya hidup (jiwa) yang serupa.
2. Manusia selain roh juga mempunyai “semangat”
3. Roh-roh manusia yang telah mati, mempengaruhi keadaan hidup manusia yang masih hidup. Oleh sebab itu roh-roh tersebut wajib dipuja.
4. Dewa-dewa, jin-jin dan keadaan ghaib juga mempengaruhi kehidupan manusia yang masih hidup dan wajib dipuja. Adapun kepercayaan Dinamisme adalah kepercayaan menduakan (ambivalensi) terhadap sumberdaya kekuatan yang dimiliki oleh Tuhan YME.
Kekuatan dan gejala-gejala yang sudah dijelaskan di atas, baik yang bersifat animisme maupun dinamisme setidak-tidaknya ada dua hal yang mungkin dapat dilakukan oleh sebagian masyarakat. Kekuatan itu harus ditakuti serta dihormati sehingga orang harus menjalankan upacara tradisional juga sebaliknya mungkin orang akan berusaha melumpuhkan daya atau kekuatan itu dengan berbagai penangkal dan usaha lainnya.




BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Tarawangsa, menunjuk pada sebuah alat musik. Akan tetapi lebih dari ini, seni tarawangsa menjelaskan kebudayaan suatu komunitas. Bagi masyarakat Sunda, Jawa Barat terdapat makna lebih dari sebuah benda. Ia menunjukkan kekuatan dan kesakralan, memberikan rumusan nilai-nilai, membentuk cara berfikir masyarakat dalam memaknai kehidupan dan alam semesta. Ia menjelma bersama nilai historis dan simbolisnya. Menggiring masyarakatnya dalam membuat rumusan tatanan sosialnya. Kami berpendapat bahwa dampak sosial dari kesenian Tarawangsa pada masyarakat Rancakalong yakni sebagai berikut.
a. Memiliki nilai silaturahmi karena dengan diadakannya pergelaran Tarawangsa maka antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya akan saling bertemu sehingga tali silaturahmi dan persaudaraan akan tetap terjalin.
b. Terjalin komunikasi, dengan bertemunya antar keluarga, selain adanya silaturahmi akan terjalin pula komunikasi satu sama lain baik secara individu, kelompok juga keluarga.
c. Menyerap informasi, setelah terjalin komunikasi selanjutnya akan terjadi saling informasi baik mengenai kehidupan ataupun mata pencaharian.
d. Termotivasi, melalui informasi yang diperoleh dari orang lain akan terjadi motivasi dalam diri untuk dapat mengikuti apa yang sedang menjadi suatu mayoritas dalam lingkungannya misalnya saja kalau ada orang menanam jagung, maka masyarakat Rancakalong beramai-ramai menanam jagung, kalau sedang musim menanam ubi masyarakat pada umumnya akan menanam ubi pula.
e. Belajar untuk bisa, pada masyarakat Rancakalong yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani biasanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam menggarap sawah atau kebun, mereka kerjakan sendiri oleh karena itu masyarakat Rancakalong akan belajar sehingga bisa mengerjakan apa yang tadinya belum bisa dikerjakan sendiri.
f. Bekerja sesuai bisa, yakni, setiap orang akan bekerja sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya seperti ketika membantu mendirikan rumah kalau orang yang bisa memahat kayu maka bekerjanya juga sebagai pemahat kayu, kemudin kalau orang yang suka mengambil aren (nyadap) untuk membuat gula merah maka akan bekerja sebagai tukang mengambil aren tidak akan bekerja jika tidak sesuai dengan keahliannya.
g. Menempatkan diri posisinya selalu bermanfaat, seperti kalau dalam acara hajatan setiap orang selalu bekerja pada bagian yang mereka anggap dibutuhkan seperti tukang memasak nasi, menggodog, mengambil kayu bakar dan lain sebagainya.
h. Selalu ingin di butuhkan, dimana dalam suatu hal orang akan merasa dirinya harus dibutuhkan oleh orang lain, artinya akan terjadi saling ketergantungan.
Banyaknya dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat dari pergelaran Tarawangsa, maka kesenian tersebut sampai sekarang masih tetap dipelihara keberadaannya oleh masyarakat pendukung kesenian tersebut.
Meskipun dampak sosial dari kesenian Tarawangsa sangat dirasakan, akan tetapi tidak sedikit di daerah rancakalong juga sudah mulai ditinggalkan oleh generasi-generasi selanjutnya walaupun berbagai upaya para tokoh kesenian Tarawangsa dan pemerintah setempat untuk tetap mempertahankan dan melestarikan apa yang mereka miliki, sehingga tetap dapat menjadi kebanggaan bagi masyarakat sebagai pemilik kesenian. Dari fenomena tersebut peneliti berasumsi bahwa pada masyarakat Rancakalong kalau seseorang sudah mendapat kepercayaan dari anggota masyarakat pendukung kesenian lainnya, maka akan dipercaya pula pada lingkungan sosial masyarakat dan kepercayaan tersebut akan tetap dipegang oleh masyarakat sampai muncul lagi tokoh baru yang dipercaya oleh masyarakat pada generasi selanjutnya.
3.2. Saran

Norma-norma dan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari dan berguna untuk mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan yang kemudian salah satunya diwujudkan dalam bentuk upacara tradisional. Secara khusus upacara tradisional mengandung kegiatan sosialisasi dimana rasa keterlibatan bersama dari masyarakat pendukungnya mendorong mereka untuk berperan serta hingga mempertebal rasa solidaritas kelompok.
Dalam upacara tradisional akan terungkap berbagai nilai sosial yang secara simbolis dapat dihayati oleh anggota masyarakatnya. Pada kesenian tarawangsa yang berfungsi sebagai upacara hormatan terhadap Dewi Sri dan roh para leluhur (karuhun), didalamnya banyak sekali nilai sosial yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat pendukung kesenian tersebut.
Peneliti memiliki pandangan kalau kesenian Tarawangsa sebagai upacara hormatan tidak memiliki nilai sosial yang dapat dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupan sosialnya, maka bukan tidak mungkin kesenian tersebut akan punah atau ditinggalkan.
Upacara tradisional merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya. Upacara tradisional ini akan punah apabila tidak memiliki fungsi sama sekali bagi masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, kelestariannya hanya dimungkinkan oleh fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Dukungan secara tradisional akan diberikan oleh setiap warga masyarakat selama dirasakan dapat memenuhi kebutuhan baik secara individual maupun kolektif.
Upacara ini hanya dapat terlaksana melalui kerjasama masyarakat, sehingga akan mengikat rasa solidaritas mereka. Bahkan karena mereka merasa dari leluhur yang sama, implikasinya rasa solidaritas akan semakin tumbuh. Upacara tradisional masih dipertahankan keberadaannya dalam masyarakat, karena selain berfungsi sebagai penyeimbang dalam pranata sosial masyarakat juga berfungsi untuk menyampaikan pesan leluhur guna menciptakan situasi yang kondusif pada masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA


1. Mediator Volume 9, 2008
2. Cresswell, J.W. 2009. Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Los Angeles: Sage.
3. Kerlinger, Fred N. 2000. Foundations of behavioral research. Australia: Wadsworth Thomson Learning.
4. McMillan, J.H. & Schumacher S. 2010. Research in education, 7th ed.. Boston: Pearson.
5. Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang MetodeMetode Baru. UIPress. Jakarta.
6. Nazir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
7. Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.
8. http://Sundanet.com
9. Koentjaraningrat. 1982. ________
10. Rusyana, Yus. 2006. “Peranan Tradisi Lisan dalam Ketahanan Budaya” dalam Festival








DRAFT PERTANYAAN WAWANCARA






























TRANSKIP WAWANCARA


Nama : Bapak Dia.
Jabatan : Ketua Paguyuban Pusaka Djati Rahayu
Waktu wawancara : Rabu, 15 Juni 2010
Jam : 13.00 - 13.15 WIB
Tempat : Desa Rancakalong, Sumedang.


1. Apa yang dimaksud Kesenian Jentreng?
Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut Jentreng.

2. Sejarah Munculnya kesenian Jentreng?
Asal mula Tarawangsa secara singkat sebagai berikut. Saat Rancakalong berada di bawah pemerintahan Mataram, Rakyat Rancakalong pernah ditimpa malapetaka yakni hilangnya butiran padi (Dewi Sri) dari dalam kulitnya. Padi banyak yang tidak jadi, kalaupun berbuah tapi tidak berbiji atau hapa (dalam istilah Sunda). Kejadian ini diyakini bahwa masyarakat tani sudah melupakan tata tertib memuliakan padi (Dewi Sri). Masyarakat gelisah dan panik menghadapi hal tersebut, mereka kebingungan dari mana dan kemana mereka harus mencari bibit padi. Embah Wisanagara, Embah Jatikusukah, Embah Raksagama, Embah Wirasuta yang merupakan tokoh masyarakat pada waktu itu melihat terjadi kelaparan, macam-macam penyakit, juga tidak sedikit yang meninggal dunia. Selanjutnya para tokoh masyarakat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan keberangkatan ke Mataram untuk mencari bibit padi karena kabarnya di Mataram banyak bibit padi utusan yang berangkat ke Mataram disertai utusan dari Sumedang yaitu Nyai Sumedang.
Sesampainya di Mataram, mendapat kendala karena bibit padi di jaga dengan ketat tidak boleh di bawa keluar dari kerajaan Mataram dan selalu diincar oleh begal (perampok), maka untuk membawa bibit padi tersebut Embah Jatikusumah menciptakan dua buah alat musik yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk membawa benih padi dengan cara memasukannya ke dalam lubang resonator yang terdapat pada bagian belakang alat tersebut. Alat musik tersebut kemudian di beri nama Jentreng dan Tarawangsa.
Sampai di Rancakalong di sambut masyarakat dengan meriah karena keberhasilannya mendapatkan bibit padi. Dari mulai saat itulah kesenian Tarawangsa hidup dan berkembang di Rancakalong,
3. Kapan Kesenian Jentreng dilaksanakan dalam sebuah upacara adat?
pada awalnya Tarawangsa hanya merupakan kesenian yang bersifat instrumental akan tetapi kemudian oleh masyarakat Rancakalong dijadikan sebagai seni hormatan kepada Dewi Sri dan juga dilaksanakan pada peringatan-peringatan, seperti kelahiran, khitanan, pernikahan dan lain sebagainya.Biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah.
4. Pemain Kesenian Jentreng ?
Pemain Jentreng/tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami tidak sadarkan diri.
5. Tata cara pergelaran Tarawangsa dalam upacara hormatan?
Prosesi dimulai dari jam 21.oo sampai 03.oo dini hari., Prosesi diawali dengan:
A. Ngalungsurkeun (mengeluarkan bibit padi)
Ngalungsurkeun memiliki makna menurunkan keberkahan, yakni dengan mengelurkan bibit padi (pare bungsu) dari goah Kemudian disimpan dekat sesajen dengan tujuan supaya bisa dapat berkah dari hadirnya Dewi Sri serta arwah-arwah para leluhur (karuhun). Acara ini dipimpin oleh Saehu dan Paibuan yang diikuti oleh tamu perempuan yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah tempat bibit padi yang tersedia di pajemuhan/goah. Bibit padi yang dikeluarkan itu adalah milik para tamu yang menyimpan (ngiringan) dalam tempat kecil seperti rantang atau juga ada tempat yang dinamakan pipiti dengan tujuan agar bibit padinya mendapat do’a dari semua yang hadir sehingga bisa mendapatkan berkah bibit padi yang bagus juga karena menurut kepercayaan mereka Dewi Sri (Dewi Padi) dan para leluhur (karuhun) akan hadir.
Laki-laki yang ikut dalam acara ini hanya Saehu saja yang membawa anggoan (pakaian) yang punya rumah (rurukan). seorang laki-laki (Saehu) membawa nampan yang berisi pakaian yang punya rumah (rurukan). Salah seorang kasepuhan sedang menyimpan benih padi dekat sesajen
B. Netes
Acara ini dilakukan oleh seorang ibu (canoli). Kegiatan yang dilakukan yakni meneteskan air dengan daun sirih kedalam setiap tempat bibit padi sambil bernyanyi (dalam bahasa sunda ngahaleuang) yang berisi do’a dan harapan agar bibit padi yang kelak akan ditanam dapat membuahkan hasil yang baik. Menurut keterangan biasanya do’a tersebut berbentuk mantra (jangjawokan) dengan memiliki keyakinan “Dewata Maring Manusa, Manusa Maring Dewata” yang artinya bahwa dalam kehidupan kita tidak akan lepas dari pengaruh-pengaruh roh leluhur atau arwah-arwah yang dikeramatkan (karuhun), kalau kita berdekatan
C. Nema Paibuan
Pada nema paibuan ini ada lima orang penari perempuan yakni Paibuan, yang punya rumah, dan tiga orang penari dari grup Tarawangsa. Nema sendiri artinya bertemu, disini yang pertama menari adalah Paibuan dengan lagu saur atau sering disebut saur pangembat dengan maksud memberikan pengumuman (bewara) kepada tamu yang hadir bahwa akan kedatangan Dewi Sri yang datang dengan berlayar yang digambarkan dengan lagu lalayaran kemudian diikuti oleh penari yang lainnya saling bergantian, sampai selesai yang lima orang tadi.
D. Hiburan Perempuan dan Hiburan Laki-laki
Pada acara ini semua tamu yang hadir pada pergelaran Tarawangsa dipersilahkan untuk menari (dalam bahasa sunda ngibing), semua tamu mendapat hak untuk menari. Acara hiburan diawali oleh Paibuan bersama yang tamu yang lain yang jumlahnya harus ganjil bisa lima orang, tujuh orang, atau sembilan orang dilanjutkan para tamu perempuan (ibu-ibu) sampai sekitar tengah malam. Kemudian Paibuan menyerahkan selendang kepada Saehu sebagai tanda mempersilahkan kaum laki-laki (bapa-bapa) untuk menari. Seperti halnya tamu perempuan, semua tamu laki-lakipun mendapatkan hak yang sama untuk mendapat giliran menari asal tempatnya tidak telalu penuh, jadi bergiliran.
E. Nyumpingkeun (pohaci/icikibung)
Kegiatan ini diawali oleh Paibuan dengan menari sambil memanggil (nyambat) Dewi Sri dan arwah para leluhur (karuhun) dengan kalimat seperti berikut: “mangga nyi prapohaci enggal gera ngaluuh, disuhunkeun enggal sumping” kalimat tersebut bukan suatu kalimat yang baku harus diucapkan oleh Paibuan ketika nyambat, tetapi kalimat ungkapan sendiri. Jadi setiap Paibuan akan berbeda-beda saat nyambat, bahkan dari seorang paibuan saja dari satu tempat ke tempat lain akan berbeda pula yang diucapkannya. Setelah nyambat selesai, Paibuan menari yang kemudian diikuti oleh tamu perempuan. Berdasakan keterangan yang diperoleh dari informan yang biasa menjadi Paibuan ketika mereka sudah kasumpingan akan merasakan bahwa dia menjadi sosok karuhun yang datang. Siapa yang datang nanti akan tercermin dalam gerakan, ada yang gagah berarti yang datangnya karuhun laki-laki, kalau bergeraknya mengalun, halus, yang datang berarti perempuan.
Pada acara nyumpingkeun ini arwah leluhur yang dipanggil biasanya dari leluhur keluarga yang punya hajat, dan datangnya (sumping) harus kepada yang punya rumah (rurukan). Kalau tidak datang (sumping) kepada yang punya rumah mereka menganggap acara yang diselenggarakan oleh rurukan itu kurang bermanfaat (ungkapan informan mubah). Ketika rurukan sudah kasumpingan maka penari yang lainnya mengelilingi rurukan, kalau tidak dikelilingi bisa saja sampai jatuh karena badan yang kasumpingan akan terasa lemas. Untuk membantu agar tetap kuat dihadirkan keris yang mereka yakini secara magis dapat memberikan kekuatan kepada yang kasumpingan.
Sukses atau tidaknya sebuah pergelaran Tarawangsa dalam acara hormatan dilihat dari banyak atau tidaknya yang kesurupan juga pada acara nyumpingkeun apakah ada karuhun yang datang atau tidak, keyakinan seperti itu sekarang sudah mulai diabaikan, karena pola pikir masyarakat pendukung kesenian tersebut sudah berkembang, sehingga sukses dan tidaknya sebuah pergelaran Tarawangsa pada upacara hormatan itu ditentukan dengan banyak atau sedikitnya tamu yang hadir. Akan tetapi walaupun pandangan berbeda tetap tidak akan mengurangi nilai kesakralan pada upacara hormatan.
f. Nginebkeun (menyimpan kembali bibit padi)
Nginebkeun mempunyai makna menempatkan Dewi Sri pada tempatnya dengan acara menyimpan kembali bibit padi yang tadi dikeluarkan selama upacara hormatan dilaksanakan kembali ke ruangan tempat penyipanan
padi (pajemuhan/goah). Kegiatan ini merupakan acara terakhir dalam urutan upacara hormatan, dan dilakukan menjelang adzan subuh
6. Syarat Menjadi Saehu dan Paibuan ?
Untuk menjadi seorang pemimpin tentunya syarat yang paling utama yakni harus dikenal dulu oleh anggotanya setelah dikenal kemudian aktif dalam kegiatan yang diadakan oleh lingkungan sekitar. Seseorang dapat dipercaya menjadi Saehu ataupun Paibuan karena dalam setiap pergelaran Tarawangsa yang diadakan di lingkungannya selalu hadir sehingga lama-kelamaan akan tahu tata cara dan urutan dalam pelaksanaan upacara ritual, kemudian anggota masyarakat yang lainnya memberikan kepercayaan.
Seseorang dapat menjadi Saehu Atau Paibuan apabila : Faham urutan acara, pelaku dalam pergelaran, diturut oleh yang lain, tidak baku posisinya. Walaupun bukan merupakan syarat yang khusus, akan tetapi secara umum untuk menjadi Saehu dan Paibuan minimal memiliki kriteria seperti di atas.
Orang yang menjadi Saehu dan Paibuan biasanya berumur antara 40 sampai 50 tahunan, hal itu bukan suatu keharusan tetapi memang kebiasaannya seperti itu. Dengan alasan kalau orang yang sudah tua sudah sering mengikuti pergelaran Tarawangsa sehingga sedikitnya sudah sering pula mengikuti atau menyaksikan tata urutan dalam pelaksanaan upacara hormatan terhadap Dewi Sri. Sebenarnya kalau ada yang sudah mampu dan siap untuk menjadi Saehu ataupun Paibuan pada umur 30 tahunan tidak apa-apa asalkan memang benar-benar siap dan juga sudah mendapat kepercayaan dari masyarakat pendukungnya atau minimal di keluarga dan lingkungan sekitar tempat tinggalnya, hanya sampai saat ini baik Saehu ataupun Paibuan belum ada yang berumur dibawah 40 tahunan.
7. Tugas Pemimpin Tarawangsa (Saehu & Paibuan)?
Pagelaran Tarawangsa yang diselenggarakan sebagai upacara hormatan selalu ada Saehu dan Paibuan. Pentingnya peranan Saehu dan Paibuan pada pergelaran Tarawangsa sebagai upacara hormatan kepada Dewi Sri serta arwah-arwah leluhur (karuhun) karena seorang Saehu dan Paibuan adalah sebagai penggerak, pengatur, pengarah, dan promotor dalam pergelaran Tarawangsa, sehingga pada akhirnya dapat dilihat hasil kerja dari Saehu dan Paibuan dengan sukses atau tidaknya suatu pergelaran Tarawangsa.
Sukses atau tidaknya sebuah pergelaran Tarawangsa pada awalnya ditentukan oleh banyak tidaknya orang yang kesurupan (kasumpingan). Tetapi sekarang telah mengalami perubahan salah satunya diakibatkan oleh keadaan zaman yang senantiasa dinamis, Saehu dan Paibuan hanya ada ketika Tarawangsa di pergelarkan sebagai upacara hormatan kepada Dewi Sri dan Upacara-upacara lainnya yang berbungan dengan siklus kehidupan manusia seperti kelahiran, khitanan, pernikahan dan lain sebagainya. Ketika Tarawangsa dipergelarkan hanya dalam bentuk instrumental ataupun untuk kebutuhan pengiring tari yang bukan untuk kebutuhan upacara ritual tidak perlu ada Saehu dan Paibuan.
Baik Saehu maupun Paibuan merupakan orang yang pertama menari pada saat pergelaran Tarawangsa. Biasanya diawali dengan Angkenan, dimana Saehu ataupun Paibuan melakukan pemanggilan terhadap Dewi Sri serta para leluhur (karuhun) untuk hadir pada acara tersebut yang digambarkan dengan gerak seperti sembahan yang dilakukan ke empat arah (madhab) yakni arah timur, selatan, barat, dan utara karena menurut keyakinan mereka tidak tahu Dewi Sri dan para leluhur (karuhun) sedang ada dimana makanya dipanggilah ke setiap arah.
8. Apa saja Benda-benda Yang Di Pakai Seorang Saehu dan Paibuan?
Kalau tidak ada sesuatu hal yang membedakan antara pemimpin dan masyarakat, maka orang setiap orang dalam masyarakat akan merasa sama. Akan tetapi, ketika seorang pemimpin memiliki ciri khas baik dari pakaian ataupun properti yang digunakannya maka sudah barang tentu ada perbedan dengan anggotanya. Seperti telah diungkapkan oleh Burke mengenai teori pembentukan identitas.
Dalam pergelaran Tarawangsa sebagai upacara hormatan ada yang dijadikan pemimpin untuk melaksanakan rangkaian upacara hormatan tersebut yang disebut Saehu untuk pemimpin penari laki-laki dan Paibuan untuk pemimpin penari perempuan. Kita dapat membedakan antara Saehu dan Paibuan dengan penari yang lainnya/tamu ketika menari yakni dari benda yang digunakan. Pada saat menari Saehu menggunakan;
a. Ikat kepala (dalam bahasa sunda totopong)
b. Kain matra kusumah (sinjang rereng)
c. Keris.
Sedangkan untuk Paibuan menggunakan:
a. Renda berwarna putih
b. Sisir dan Gelang
Sisir digunakan oleh Paibuan yang tidak berjilbab, tetapi jika Paibuannya berjilbab sisir yang disediakan tidak dipakai juga tidak apa-apa. Benda-benda yang dipakai oleh Paibuan pada saat nema paibuan dapat dipindahkan kepada orang yang sudah kedatangan roh nenek moyang .
c. Selendang (karembong).
Selendang tersebut merupakan gambaran dari manusia, dimana selendang warna putih menggambarkan manusia yang baru lahir, masih suci belum punya dosa. Kemudian warna hijau menggambarkan manusia yang menginjak dewasa, dan warna merah menggambarkan manusia yang sudah berlumur dosa. Dalam pergelaran Tarawangsa orang yang menari pertama akan memakai selendang warna putih, kemudian setelah mulai dapat merasakan tempo, irama dan menghayati musik dan gerak maka ditambah dengan selendang berwarna hijau, apabila sudah mencapai puncak atau sudah kasumpingan (kedatangan roh) maka ditambah lagi dengan selendang berwarna merah. Apabila sudah tidak tertahan lagi atau sudah kelihatan tidak karuan geraknya maka dinetralkan lagi dengan selendang wulung sehingga penari kembali tenang, seperti halnya keris selendang wulung juga diyakini memiliki kekuatan untuk memberikan ketenangan.
9. Apa Dampak Sosial dari Pagelaran Kesenian Jentreng Ini?
Dampak sosial yang timbul dari pelaksanaan pergelaran Tarawangsa pada upacara hormatan merupakan cerminan hidup yang harus tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya, karena sangat mengandung nilai sosial yang tinggi, salah satunya nilai gotong-royong.
Tarawangsa memiliki banyak Fungsi diantaranya:
1. rubuh jerami ampih parwe yaitu sebagai penghormatan terhadap dewi sri.
2. ngaruat rumah baru.
3. sebagai hiburan atau huripan kampong.
4. hajatan
5. upacara adat
6. sambutan terhadap tamu negara
10. Bagaimana urutan upacara berdasarkan iringan lagu :
Setelah alat-alat persiapan dan sesajen tersedia, maka upacara pun dimulai dari jam 19.30 wib (setelah shalat Isya). Sesepuh duduk bersila menghadapi parupuyan dan alat-alat perlengkapan sambil membagikan-bagikan kemenyan kepada sesepuh lainnya agar dimantrai. Kemudian kemenyan-kemenyan tersebut dipungut kembali, lalu dibakarnya disertai mantra-mantra dengan maksud bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Rasul-Nya. Demikian pula kepada para leluhurnya. Urutan penyajian lagu tarawangsa dalam mengiringi upacara:
1. Upacara diawali dengan penyajian lagu pangemat, sebagai lagu pengundang Dewi Sri agar segera datang di tempat tersebut.
2. Disusul oleh lagu panimang untuk mengiringi acara ngalungsurkeun yaitu menurunkan seikat padi sebagai lambang Dewi Sri.
3. Lagu pamapag digunakan saat prosesi penjemputan Dewi Sri oleh sesepuh sambil membawa pakaian dan aksesoris lainnya yang akan dikenakan kepada padi tersebut.
4. Dibelakangnya diikuti oleh ibu-ibu yang membawa bunga-bungaan, minyak kelapa, daun hanjuang dan mangkuk berisi beras dengan tektek di atasnya yang diiringi lagu pangapungan.
5. Sesudah itu padi disawer yang diiringi lagu panganginan.
6. Upacara kemudian dilanjutkan dengan acara bersukaria yaitu menari bersama yang pimpin oleh seorang saehu berpakaian lengkap (jas hitam, berkain batik, iket), di pinggangnya terlihat sebilah keris yang dililiti dengan karembong atau sampur. Diikuti oleh penari pria yang disusul oleh penari wanita yang berpakaian kebaya dalam lagu lalayaran.
7. Lagu bangbalikan mengiringi prosesi terakhir yaitu nginebkeun atau netepkeun yaitu menyimpan padi yang dihias tadi ke dalam ruangan penyimpanan. Ini menggambarkan bahwa Dewi Sri akan menetap di sana. Musik tarawangsa dimainkan secara instrumental dalam tangga nada atau laras pelog dan salendro. Dalam penyajiannya, alat musik tarawangsa berfungsi sebagai pembawa lagu atau melodi, sedangkan alat musik kacapi berfungsi sebagai pengiring lagu.
11. Bentuk dan makna simbol pada lagu-lagu pokok tarawangsa?
Makna simbol pada lagu-lagu pokok tarawangsa dilihat dari judul-judul lagu adalah sebagai berikut:
a. Pangemat, berasal dari kata ngemat yang artinya memanggil, dalam hal ini yaitu menggambarkan pemanggilan Dewi Sri untuk datang ke tempat upacara berlangsung.
b. Panimang, berasal dari kata nimang yang artinya mengayun-ayun hal tersebut melukiskan Dewi Sri sedang ditimang-timang.
c. Pamapag, berasal dari kata papag yang berarti jemput, hal tersebut menggambarkan penjemputan datangnya Dewi Sri.
d. Pangapungan, berasal dari kata ngapung yang berarti terbang, hal ini menggambarkan Dewi Sri sedang terbang.
e. Panganginan, berasal dari kata ngangin yang berarti istirahat, yang menggambarkan jika Dewi Sri sedang beristirahat.
f. Lalayaran, berasal dari kata lalayar yang artinya tamasya yang menggambarkan Dewi Sri sedang bertamasya.
g. Bangbalikan, berasal dari kata balik yang berarti pulang hal tersebut menggambarkan proses mengantarkan pulangnya Dewi Sri ke dalam ruangan penyimpanan. Lagu-lagu pada seni tarawangsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ;
1. Lagu pokok yang terdiri dari lagu pangemat, pangapungan, pamapag, panganginan, panimang, lalayaran, dan bangbalikan.
2. Lagu pilihan yang terdiri dari lagu mataraman, saur, iring-iringan, jemplang, bangun, karatonan, buncis, angin-angin, reundeu, ayun ambing, reundah reundang, kembang gadung, dan panglima.

























CATATAN OBSERVASI

Pada hari selasa malam 19.30 dengan tujuan menghadiri suatu acara. sampailah saya di rumah Kang Robby seorang pemimpin Ormas Kedaerahan, sebagai tuan rumah yang dengan sengaja menyajikan sebuah tradisi yang masih tradisional khas wilayahnya, yaitu Terbangan dan Tarawangsa, sejak saat itu saya mulai tertarik mengetahui lebih dalam tentang kesenian ini. Berkaitan dengan tugas penelitian dalam perkuliahan maka saya mulai mencoba bertanya seputar Tarawangsa dan hubungannya dengan masyarakat di Rancakalong. Dikarenakan penelitian kali ini terfokuskan pada alat musik dan sejarah dari Tarawangsa, maka yang mendapat perhatian lebih adalah segala bentuk dimulai dari proses, persiapan, dan acara utamanya. Sebenarnya upacara Tarawangsa sendiri dipakai saat pesta panen raya, akan tetapi karena alasan tertentu, yaitu atas nama penelitian, maka Tarawangsa dapat dimainkan di saat ada tujuan yang lain.
Berbekal pernah satu kali menyaksikan pelaksanaan Kesenian jentreng, maka penelitian ini saya mulai dengan mengunjungi pusat kesenian tarawangsa di desa Rancakalong. Sebuah catatan selama perjalanan dalam penelitian ini mengisi kotak data-data untuk dianalisis dan dikaji kandungan terhadap fokus penelitian ini, yaitu alat musik Tarawangsa dan latar belakang sejarah juga fungsi sosialnya di masyarakat Sunda dari masa lalu hingga saat ini.
Pagi hari yang sangat cerah diawali dengan mewawancarai salah satu Sesepuh kesenian Tarawangsa, yaitu Abah Dia, 74 tahun. Satu hal paling utama yang harus ditanya adalah dari manakah sumber yang menyebutkan sejarah Tarawangsa dari wilayah sini, Abah Dia menyebutkan satu naskah kuno sebagai rujukan sumber sejarah yaitu Kitab Purwa Daksina, yang menceritakan kehidupan awal manusia hingga akhir jamannya. Kemudian demikianlah sejarah awal mula terciptanya Tarawangsa Rancakalong
Tarawangsa, lahir sesudah sejarah ti karugian. Negeri yang mengalami kerugian, dari segi kehidupannya. Tadinya negeri ini sangat subur, namun ketika Ratu Mataram ke II melarang tradisi Sunda dipakai lagi, tradisi karuhun Sunda tidak boleh dilakoni lagi karena akan merusak nilai-nilai dalam agama Islam. Pada jaman Prabu Siliwangi terakhir, Mataram menguasai Kerajaan Padjadjaran lalu mereka menyebarkan agama Islam dan tradisi Sunda dilarang.
Setelah dilarang, Padjadjaran dan wilayah lain langsung mengalami kerugian di sektor pertanian, termasuk manusia-manusianya, yaitu menjadi kelaparan. Kenapa jadi sengsara? Karena sebenarnya aturan-aturan tradisi memiliki paralelisme sareung agama, nu hirup disambung kanu hirup. Dalam tradisi ada aturan, makhluk nyaring (hewan), makhluk cicing (tumbuhan), makhluk eling (manusia) sebagai umat Gusti.
Mereka menciptakan Tarawangsa, inspirasi awalnya adalah dua kawat Tarawangsa, dan tujuh kawat untuk kecapi. Dari sinilah awal mula keberadaan Tarawangsa hingga saat ini masih dipergunakan dan difungsikan sebagai media seni dalam upacara penghormatan dan syukuran atas kebaikan Dewi Kesuburan.
Tarawangsa, dahulu pada awal mulanya terbuat dari kayu Kembang Kenanga, alasannya karena hampos (hampa) dan dagingnya yang lunak. Lalu berganti pada kayu Suren, kemudian beralih pada kayu pohon Jengkol sejak jaman Eyang Oting hingga saat ini. Proses pembuatannya, untuk kayu ukuran Kecapi adalah Panjang : 1 m – Lebar : 30 cm dan Tarawangsa Panjang : 50 cm – Lebar : 20 cm. Bentuk kepala naga yang dipakai pada jaman dahulu, lalu pak Oting menciptakan bentuk Wayang, simbol orang. Arti dari Tarawangsa itu sendiri menurut Abah Dia adalah:
Ta : tatabeuhan (pukul-pukulan), Ra : rakyat, Wa : wali, Ang : ngalalana (kehidupan), Sa : sanga (sembilan)
Yang artinya adalah tarian atau seni untuk para Wali Sanga. Adapun 7 lagu pokok atau sakral yang dipakai oleh alat musik Tarawangsa dan selalu dimainkan oleh grup milik Abah Dia baik dalam upacara Seren Taun atau dalam hiburan yang khusus diadakan, seperti dalam penelitian kali ini, lagu-lagu tersebut sesuai dengan pakem dan selalu diturunkan kepada generasi selanjutnya, di antaranya adalah;
1. Nangis Pohaci, durasi 5 menit, alunan Tarawangsa sangat lambat
2. Pangapungan, durasi 5 menit, alunan Tarawangsa agak cepat, tarian atau ngibing-nya berbeda
3. Pamapag (papag), durasi 5 menit
4. Batin, papag kasucian, Mataraman, durasi 5 menit
5. Iring-iringan (meluapkan rasa gembira) setelah beras sudah sampai atau tiba
6. Jemplang, kartosna ulah jeujeun ulang malang, kalau kerja harus fokus, jangan pamaleusan (malas), durasi 5 menit
7. Limbangan, harus seimbang, selaras, lamun hirup teh kudu saimbang, durasi 5 menit.
Nangis Pohaci, dimaksudkan untuk tumbuh-tumbuhan, contohnya ketika kita memakan pisang, dan pisang itu adalah makhluk hidup, lalu kita makan kemudian kita berbuat keburukan, oleh karena itu Pohaci akan menangis melihat kelakuan buruk kita, bagian tubuhnya digunakan untuk sesuatu yang buruk, Pohaci sangat mengharapkan apa yang sudah ia korbankan dipakai oleh manusia dalam berbuat kebaikan. Maksudnya adalah tujuan kita hidup yaitu bukan hanya untuk mencapai kebenaran tetapi juga mendapatkan keiklasan dan keridhaan Gusti, “Mulih ka jati kalih ka asal…uwih. Lahir, bubur lajur”.
















FOTO-FOTO WAWANCARA

Pintu Masuk Bale Sawah-sawah disekitar Bale

Struktur Paguyuban Djati Rahayu Ketua Paguyuban : Abah Dia

Wawancara dilakukan di rumah Ketua Paguyuban Djati Rahayu





Peneliti Berfoto Bersama Ketua Paguyuban Peneliti Berfoto Bersama Ketua Paguyuban

Jentreng & Tarawangsa Bale

Tempat Padi Leuit

LAPORAN KINERJA KELOMPOK